Monday, April 11, 2011

Sungai Menuju Senggo


PAPUA - Di hamparan laut Aru yang luas, Teluk Flamingo merupakan jalur lalu-lintas transportasi laut dari berbagai penjuru nusantara. Kapal-kapal besar dan kecil melewati teluk ini.

Dari daratan Agats, melalui sungai Sirets, Teluk Flaminggo di laut Aru harus kami lalui untuk menuju Desa Senggo. Berbelok dari teluk Flamingo melewati sungai-sungai besar dari Sungai Siretz, Wildeman, lalu memasuki sungai Daerum.

Berangkat pukul 10 pagi, saya, Harley, dan Bang Leo menaiki speed boat yang dikendarai Pak Pontasius ditemani oleh Pak Willem. Memasuki Teluk Flamingo di Laut Aru merupakan petualangan yang tidak mungkin terlupakan. Yang membuat saya berdecak kagum, di tengah laut Aru banyak perahu tradisional Asmat, hanya dengan ber"mesin"kan dayung mengarungi lautan luas dan terkenal ganas. Sungguh keberanian yang luar biasa yang jarang ditemui di belahan bumi mana pun.

Sepanjang sungai Siretz yang lebar, banyak kami lihat pemandangan yang sangat indah. Bayangan pepohonan, awan dan langit terlihat jelas di permukaan sungai yang jernih. Tak jarang kami temui burung camar, bangau dan burung Urip (sejenis burung nuri). Sekali kami temui kasuari sedang mencari makanan di rawa tepian sungai. Sangat menakjubkan melihat satwa langka hidup di alam bebas. Sungguh kaya Indonesia ini.

Sejenak di Kampung Foz dan Jinak

Sekitar pukul dua siang kami beristirahat sejenak di sebuah kampung pinggiran sungai yang bernama kampung Foz. Di sana terdapat banyak hasil hutan, terutama kayu gaharu. Kayu ini biasa dijemput oleh kapal-kapal untuk dijual ke Surabaya.

Di kampung Foz seorang tetua adat menanyakan maksud kedatangan kami, dan kami pun menjawab hanya singgah sebentar dan hendak melanjutkan ke Desa Senggo di Citak Mitak. Kampung yang hanya dihuni beberapa rumah ini cukup ramai dilalui kapal dan perahu, walaupun hanya satu dua warung saja yang ada di sana. Cukup lengkap jajanan warung dimiliki oleh seorang pendatang dari Sulawesi ini. Kami pun bercakap-cakap dengan penduduk setempat sambil minum kopi melihat-lihat kayu gaharu. Sementara Pak Willem mengisi bahan bakar speed boat yang sedang sandar. Tak lama kami melakukan pengisian bahan bakar, baik bensin maupun kopi sebagai 'bahan bakar' saya dan Bang Leo, karena Harley lebih suka minum teh. Lalu kami melanjutkan petualangan di atas air lagi.

Menjelang sore, perut pun mulai 'berdemonstrasi' meminta diisi nasi kembali. Maklum lelah dan panas di tengah teriknya matahari selama empat jam di atas speed boat. Kami pun singgah di Desa Jinak untuk makan. Sebelum makan, tak lupa saya shalat Ashar di sebuah mesjid di desa tersebut. Desa ini lebih padat dab besar jika dibandingkan kampung Foz. Cukup ramai dan ada pelabuhan untuk kapal kecil.

Setelah sangat kenyang dengan nasi segunung di piring, dan 2 ekor ikan berhasil saya santap, kami pun kembali melanjutkan perjalanan.

Dua jam lamanya kami melewati sungai Wildeman dan sungai Daerum, hingga hampir pukul tujuh malam kami tiba di Desa Senggo. Disambut Gerry, teman lama Bang Leo yang pernah ke desa ini tahun lalu. Kami pun langsung beranjak dari naik dari speed boat ke pelabuhan yang terbuat dari kayu. Beberapa orang porter membantu kami membawakan barang-barang kami, hingga kami sampai di sebuah rumah kayu dua lantai milik keluarga besar Mama Ade.

Setelah lelah dan badan terasa lengket, saya segera mandi membersihkan badan. Lalu kami makan malam dengan penuh kehangatan dan sambutan yang sangat bersahabat dari tuan rumah yang ramah ini. Terima kasih Mama Ade, Mba Tetty dan suami, Bang Opan, saya selalu ingat kalian dan Desa Senggo yang hangat dan ramah.

Sumber: Detik Travel

No comments:

Post a Comment